TTM.

TTM (Teman Tapi Menusuk).

Kamu peluk aku.
Diantara sengguk tangisku.
Kamu bilang.
“Jangan takut, aku ada untukmu”.

Nanar matamu.
Dengar curhatku.
Kau sentuh bahuku.
“Tenang, semua kan baik saja”.

Jangan, jangan menengok.
Teruslah maju.
“Karena kusedang beradu padu
dibelakangmu”.

Ayo jangan menyerah.
Tantang masalah.
“Karena kusedang indah merekah
dibelakangmu”.

TUAN, NYONYA, DAN PEMBANTU.

Tuan, Nyonya dan Pembantu.

Pembantu kena.
Nyonya lagi murka.
Nyonya lagi kecewa.
Tuan main ama gadis muda.

Pembantu nguap nyonya gundah.
Pembantu kentut nyonya marah.
Pembantu bingung jadi resah.
Semua semua serba salah.

Tuan juga bikin masalah.
Udah tua masih cari celah.
Lupa badan udah bau tanah.
Kalo ditanya hobi berkilah.

Nyonya jelas sakit hati.
Sejak muda ditemani.
Masih miskin didampingi.
Udah kaya khianati.

Pacar tuan ayu seksi.
Tinggi semampai bau wangi.
Dibawa kesana kemari.
Udah kayak laki bini.

Nyonya lelah banting diri.
Kasur empuk bagai peti.
Badan gemuk tak lagi diurusi.
Pikir tuan belahan hati.

Nona Genit

Nona genit.
Tumit menjinjit.
Tas tangan dijepit.
Pesona selangit.

Pasang muka centil.
Jelalatan mata usil.
Senyum tengil.
Minta dijawil.

Nunggu macet.
Daripada mumet.
Pikiran jadi cupet.
Semua ruwet.

Nona genit.
Om – nya juga genit.
Lengan diapit.
“Capek Om? Mau dipijit?”

Tergagap senang.
Uban ngga lagi penghalang.
Nona genit girang.
Terbayang barang – barang.

Ga pake sulit.
Kulit ketemu kulit.
Singgasana berderit.
Kelakuan seperti demit.

Purna rasa.
Saatnya belanja.
Tunjuk sini sana.
Dompet lebar dibuka.

Nona genit.
Om – nya juga genit.
Pikir nakalnya cuma sak ndulit.
Lupa diri calon mayit.

Rumah Baruku.

Rumah Baruku.

Rumah baruku bukan rumah gedong.
Rumah baruku masih lubang di sana sini.
Rumah baruku belum berhias indah.
Rumah baruku masih papa.

Tetanggaku belumlah banyak.
Hanya kanan kiri depan belakang.

Pagi hari matahari menyembul.
Tetangga depan menyapa.
Siang hari menjelang terik.
Tetangga kiri menegur.
Sore hari menjelang senja.
Tetangga kanan bersalam.
Malam gelap bersama sang bulan.
Tetangga belakang menepuk akrab.

Dulu, tetanggaku di rumah gedongpun begitu.
Hangat memeluk, teduh merengkuh.
Akankah tetanggaku disini akan melayu?
Bukankah hanya pemberi hidup sendiri yang tidak berubah?
Tapi aku suka disini, rumahku sendiri.
Aku suka matahari-nya, aku suka bulan-nya, aku suka air hujannya, aku suka gelegar petirnya.

Rumah baruku, bukanlah rumah gedong.

Bukan Lagi Tentang Diri.

BUKAN LAGI TENTANG DIRI.

Ketika kita mengambil komitmen untuk menikah, itu bukan lagi tentang diri sendiri.

Ketika kita mengambil komitmen untuk punya anak, itupun bukan lagi tentang diri sendiri.

Ketika kita mengambil komitmen untuk berbakti pada orang tua, itu juga bukan tentang diri sendiri.

Ketika kita mengambil komitmen bekerja pada orang lain, mengabdi pada komunitas, dan lain sebagainya itu jelas tegas juga bukan tentang diri sendiri.

Ketika kita mengambil komitmen untuk tetap sehat, itu berarti bukan lagi menghidupi keinginan diri.

Bahkan ketika kita mengambil komitmen memelihara tanaman dan hewan sekalipun, itu semua bukan lagi tentang diri kita sendiri.

Ada tanggung jawab yang melekat erat kemanapun kita bergerak. Sesekali kita bisa mengalihkan tanggung jawab, tapi tetap tidak bisa lagi berlaku sesuka hati. Ada batas dimana kita harus bersegera mengambil kembali tanggungjawab.

Pada akhirnya, komitmen adalah tentang mengikatkan diri.

(renungan untuk diriku sendiri)

Memilih Jalan Sunyi.

Riuh rendahnya, gelak tawanya menggoda raga.

Melebur di dalamnya adalah sebuah keindahan.

Jatuh bersamanya menyaji beribu kenikmatan.

Ahhh….sungguh tak terkira rasanya.

 

Di satu sudut remang.

Jiwa tersisih diantara puja puji.

Hati merintih dalam perih.

Sungguhkah ini kebutuhan diri.

Atau sebuah ironi.

 

Sang Agung berbisik.

“Ssssstt….berdiamlah…

Banyak makna tak teraba,

Banyak cinta tak tersapa

Terlalu sulit kau mendengar, anakKu….”

 

Terperangah.

Terlalu lama, sungguh terlalu lama.

Mengenggam kebenaran diri.

Berbungkus kepongahan.

Dan tepukan di dada.

 

Saatnya aku pulang.

Menempuh jalan sunyi.

 

walking-away1

photo credit : linkedin.com

 

 

Yang Paling Hina.

Laki – laki itu

Duduk menekuk

Mengepul rokoknya

Berharap asap mampu menyembunyikan dirinya

Dari dunia

 

Masih terpekur, memainkan pandangannya

“aku menunggu anakku”

Mengapa kau tak masuk rumah gedong itu?

“aku malu, tak cukup terpandang diri untuk masuk ke dalamnya”

Ah, rumah gedong itu milik semua orang

“milik semua orang yang bukan sepertiku”

 

Tidak, bahkan rumah gedong itu milikmu, dia akan memberikan pakaian pada orang yang tidak berpakaian, dia akan memberikan makan pada orang yang lapar, bahkan dia juga akan mengunjungi orang yang dipenjara.

 

“aku sudah mencoba masuk, bahkan aku sudah duduk dalam kemegahannya, tidak ada baju untukku, tidak ada makanan untukku”

 

Diam. Sunyi. Sepi.

 

vivian-maier-poor-man-of-the-street-eating-new-york-1959-1024-postbit-2268

photo credit : allpics.com

Lazarus.

Tok…tok….tok…ketuk kayu sepatumu.

Wajah pongah, dagu terangkat, langkah tegap.

Tergopoh pelayan mengikuti gerakmu.

 

Kaki menyilang, kilau kulit terawat menusuk.

“Pelayan, hidangkan yang termewah, terlezat..!”

 

Bersimpuh berteman dingin marmer putih jelita.

Ibu jari beradu dengan telunjuk. Sebesar itu lebih dari cukup menjepit remah – remah yang tercecer dari kemewahan.

Bahkan si setia, ikut berpesta, menjilat diatas luka. Perih. Pedih. Lalu mati.

Semua mati.

 

“Sang Agung, tolong mintalah pengemis itu, meneteskan sedikit air untukku, panas…panas…disini sangat panas..”

Biarkanlah dia menikmati keteduhannya.

“Sang Agung, bukankah dia ikut menikmati makananku disana?”

Dia menjumput yang terbuang.

“Sang Agung, aku menyesal, beritahukanlah pada mereka, berbaik – baiklah”

Buku kehidupan terbuka ‘nak, biarlah yang bijak mendengar.

 

rich_man_and_lazarus-1

photo credit : theladypastor.blogspot.com

Dancing In The Rain.

Selama bumi masih ada

Panas dan hujan saling bersua

Kumpulan tanaman berria

Atap langit rumah sejatinya

Cucuran melimpah membelai rasa

 

Siapkan tempat berpindah

Rumah pakaian gamang

Kering belum basah tidak lagi

Saat sang surya mulai manja

Tak lagi memancar penuh kuasa

 

Siapkan peneduh dalam kereta kuda

Meski cipratan bawa bocah bersuka

Bagaimanapun hati bunda

Tetap lindungi belahan jiwa

Tameng mara bahaya

 

Menari…menarilah

Dalam kecipak basah

Pandang tengadah

Basahi wajah

Hilang semua gundah

 

dancing

photo credit : pxleyes.com

Malaikat Tak Bersayap.

an-angel-without-wings-angel-creative-dreaming_large

photo credit : pics – group.com

Lara menyapa saat duka melanda tanpa permisi datang tetiba

Dalam rinai tangis doa terpanjat memohon tangan panjang Ilahi terulur menopang

Dalam harap cemas teriak lantang menyayat harap telinga Ilahi tajam mendengar

Sunyi dan sepi

Tangan tak terulur

Telinga tak mendengar

 

Sebuah pundak terbuka

Memberi ruang jiwa bicara

Lirih angin berbisik

“Dialah malaikat tak bersayap, kukirim hanya untukmu….anakku…”