Mencintai Sakit.

Percayakah bahwa di dunia ini ada orang yang “menikmati” kondisi sakit? Entah apa beban psikologis – nya, namun mengaminkan diri sakit adalah kekuatannya. Menuntut perhatian dari orang – orang terdekatnya dengan berbagai aksi salah satu wujud “kenikmatannya”. Karena hukum badan mengikuti pikiran, terjadilah demikian. Terus menerus sakit.

happy-family-illustration_23-2147508147

Saya pernah mendengar hal ini, namun baru membuktikan hari ini tadi. Berkunjung dan bertemu dengan salah seorang teman yang sedang menunggui Ibu – nya yang sedang sakit. Teman saya ini memperkenalkan latar belakang saya pada Ibu – nya. FYI, teman saya sudah berpola makan sehat alami. “Jangan kaget ya dengan sikap Mama..” begitu pesan teman saya sebelum pertemuan.

Baru saja saya berbasa basi, sang Mama sudah memborbardir dengan banyak keluhan. Anak – anak yang kurang perhatian, masa tua yang jauh dari bahagia, sakit yang disiksa dengan berbagai aturan makan (padahal tak satupun yang dilakukan hehe). Ujung mata saya melirik teman saya, kakak beradik yang bersandar di ujung tempat tidur. Mereka bergantian bolos dari tempat kerjanya untuk menunggu Mama – nya. Tak satupun ucapan sang Mama yang dibantah. Saya sudah berkali membuktikan, teman saya dan adiknya adalah anak – anak yang mati – matian berusaha berbakti pada orang tuanya.

Sambil mengantar saya ke parkiran, teman saya sedikit curhat. Beban terbesarnya sang Mama yang sudah tidak lagi memiliki semangat untuk sembuh. Ibarat mati enggan, hidup tak bergairah lagi. Diabetes yang sudah merembet ke penyakit ikutan, tak lagi dianggapnya penyakit serius untuk bersegera menjaga pola makannya. Jangankan pola makan, pola pikirpun tak diaturnya. Apakah Mama tidak ada lagi aktivitas? Tanya saya. Bahkan saat teman saya secara khusus hendak mengantarkan sang Mama untuk mengikuti acara dalam komunitas keagamaan, Mama dengan tegas menolak. Jadi, apa aktivitasnya sehari – hari? Tidur, gegoleran di sofa atau tempat tidur, nonton tivi menunggu anak – anaknya mengirim makanan, drop, masuk rumah sakit dan seperti itu terus perputarannya setahun terakhir.

Iba hati saya melihat teman saya yang umurnya masih jauh dibawah saya, dengan 2 anak balita yang juga harus diurusnya. Termasuk adik lelakinya yang baru saja memiliki bayi. Kelelahan tampak jelas di mata mereka berdua. Mereka bukan orang yang kaya raya untuk terus dapat mensupport Mamanya yang berkali opname di rumah sakit. Meskipun pakai BPJS harus selalu membayar biaya selisih naik kelas.

Sepanjang perjalanan pulang ke Salatiga saya merenung. Kiranya saat masa tua nanti saya tetap sehat fisik dan mental. Sehingga tidak menyusahkan orang – orang di sekeliling saya. Meskipun kewajiban anak adalah mensupoort orang tuanya dimasa tua, namun dari kisah ini saya belajar saat masa tua nanti tidak menjadi orang tua yang egois sehingga menuntut anak – anak sepenuhnya mencurahkan perhatian dan waktu untuk saya. Pada akhirnya, anak – anakpun harus fokus pada keluarga mereka masing – masing, tega – kah saya terus menerus, tak berkesudahan, tak berhenti mengganggu kehidupan keluarga anak – anak saya?

Membayangkan masa tua saya nanti, bisa aktif di kegiatan sosial dan keagamaan, pergi ke berbagai tempat, mengunjungi anak cucu dalam kondisi fit, berkebun, membaca buku – buku bahkan menulis. Bagaimana saya mewujudkan harapan saya kelak? Menjaga pola hidup sehat sejak muda, fisik dan mental.

Selamat malam, salam sehat ala saya.